Sutan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk disekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berprilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal seorang Saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. “Aku sesungguhnya tidak senang melihat perniagan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun dating menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia akan mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putrid tunggalnya menjadi korban lelaki hidung belang itu walaupun sbenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalsni hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang tidak merasa tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang merasa maluatas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri. Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni dengan pangkat letnan. Ia juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran me;awan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat dirumah sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara “Si anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia pada keesokan harinya.
Tugas Ilmu Budaya Dasar
Nama : Adila Hadaina Arifin
Kelas : 1 pa 04
npm : 10511193
Monday, November 21, 2011
Friday, November 4, 2011
makalah antropologi "kebudayaan Provinsi Bali"
BAB I
PROFIL PROVINSI BALI
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen dengan kurang lebih 300 suku bangsa (etnik). Heteroginitas masyarakat yang sangat besar ini memiliki sistem nilai dan norma budaya masing-masing. Keunikan kebudayaan, yang kebudayaan itu biasanya menjadi acuan berpikir dan pegangan bertindak, sangat berpengaruh pada sikap hidup dan pola perilaku dalam masyarakat. Kebudayaan memiliki arti yang sangat luas dan pemaknaannya sangat beragam, serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia untuk memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut pandangan tentang dunia, maupun sistem pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Sistem simbol terekam dalam pikiran yang dapat teraktualisasikan ke dalam bahasa tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan tingkah laku manusia.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam tersebut terjadi karena adanya varian budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan local yg dibahas dalam penulisan ini adalah kebudayaan Bali, kebudayaan Bali merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif dimiliki oleh masyarakat etnik Bali itu sendiri, bahkan sampai pada tingkat subetnik. Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat Bali tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian lokalitas budaya yang berkembang. Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya yang tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi yang berkembang di suatu daerah tertentu, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya.
1.2 Profil
Berikut ini adalah informasi profil mengenai propinsi Bali yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia :
· Nama Provinsi : Bali
· Tanggal Berdiri : 14 Agustus 1958
· Dasar Pendirian : Undang-Undang No. 84 Tahun 1958
· Ibu Kota : Denpasar
· Luas Wilayah : Kurang lebih 5.632,86 km2
· Posisi/Letak Geografis : 8,3 derajad - 8,5 derajat lintang selatan dan 114 derajat - 116 derajat bujur timur
· Pulau : Pulau Bali
· Jumlah Kabupaten : 8 Kabupaten / 1 kota
8 Kabupaten :
§ Jembrana
§ Tabanan
§ Badung
§ Gianyar
§ Karangasem
§ Klungkung
§ Bangli
§ Buleleng
§ Kota Denpasar
Batas-batas provinsi :
Utara : Laut Bali
Timur : Selat Lombok (Povinsi Nusa Tenggara Barat)
Barat : Selat Bali (Povinsi Jawa Timur)
Selatan : Samudera Indonesia
Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.
1.3 Lambang Daerah Bali
Lambang Daerah Bali berbentuk segi lima dengan warna dasar biru tua dengan garis dipinggir puti. Di dalam segi lima ini terdapat lukisan-lukisan yang merupakan unsure dari lambang, yaknin :
1) Bintang kuning emas yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa ;
2) Candi yang tertera di tengah-tengah ialah diambil dari candi Margarana yang melabangkan jiwa kepahlawanan rakyat Bali dalam menentang penjajah ;
3) Candi bentar yang artistic merupakan lambing keagamaan rakyat Bali ;
4) Rantai yang melintang dari kiri ke kanan melambangkan persatuan dan jiwa gotong-royong ;
5) Kipas yang terlukis sebelah kiri dan kanan bunga teratai melambangkan kesenian dan kebudayaan daerah Bali ;
6) Bunga teratai (padma) yang terlukis sebagai dasar di bawah candi melambangkan singgasana Ciwa ;
7) Padi dan kapas melambangkan kemakmuran.
Tata warna yang terpakai dalam lambing daerah ini, seperti :
1) Biru tua yang mendasari lambing ini, yang disertai tulisan “Bali Dwipa Jaya”, berarti ‘toleransi’ ;
2) Kuning emas yang mewarnai gambar bintang, candi, candi bentar, pinggiran padi, kapas dan kipas ini melambangkan maksud yang luhur dan agung ;
3) Merah yang mewarnai gambar rantai, padma di muka candi mengandung arti sifat yang perwira; dan
4) Putih yang mewarnai dasar tulisan, bunga kapas, buah padi, dan pinggiran lambing berarti suci.
· Topografi
Terbentang di tengah-tengah Pulau Bali adalah pegunungan yang memanjang dari barat ke timur. Sepanjang pegunungan ini ada beberapa gunung yang merupakan puncaknya yaitu Gunung Merbuk (1.386 m), Gunung Patas (1.414 m), Gunung Watukaru (2.276 m), Gunung Pahen (2.069 m), Gunung Penggilingan (2.098 m), Gunung Batur (1.717 m), Gunung Agung (3.140 m), dan Gunung Seraya (1.174 m). Gunung Batur dan Gunung Agung adalah gunung berapi yang masih aktif.
Dibagian selatan Pulau Bali terdapat semenanjung bukit yang tingginya 202 m. Sedangkan Pulau Nusa Penida yang merupakan perbukitan kapur dan puncak tertinggi yaitu 529 m.
Di tengah-tengah Pulau Bali terdapat tiga buah danau, masing-masing Danau Beratan dengan luas ± 370 ha, Danau Tamblingan dengan luas ± 110 ha. Di sebelah timur terdapat danau yang berkepundan yaitu Danau Batur, luasnya ± 1.718,75 ha.
Dari pegunungan yang memanjang ini mengalirlah sungai-sungai kea rah selatan dan utara tetapi yang ke selatan lebih panjang daripada yang ke utara. Sungai-sungai ini ada yang bersifat permanen yang mengalirkan air sepanjang tahun dan ada yang bersifat intermittent yang hanya mengalirkan air pada musim hujan saja.
1.4 Sejarah
Denpasar adalah ibu kota Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain. Sebagaimana dengan wilayah lain di Nusantara, masa-masa awal kehidupan bermasyarakat di Bali dikelompokkan sebagai jaman pra sejarah. Pada masa pra sejarah ini tidak ditemukan catatan-catatan yang menggambarkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Yang menjadi acuan adalah temuan berbagai peralatan yang dipergunakan sebagai sarana menopang kelangsungan hidup manusia Bali ketika itu. Dari berbagai temuan masa pra sejarah itu, jaman pra sejarah Bali - sebagaimana dengan kebanyakan wilayah lain - meliputi tiga babak tingkatan budaya. Lapis pertama adalah masa kehidupan yang bertumpu pada budaya berburu. Secara alamiah, berburu adalah cara mempertahankan kelangsungan hidup yang amat jelas dan mudah dilakukan. Dengan alat-alat sederhana dari bahan batu, yang peninggalannya ditemukan di daerah Sembiran di Bali utara dan wilayah Batur, manusia Bali diperkirakan mampu bertahan hidup. Peninggalan peralatan sejenis yang lebih baik, dengan menggunakan bahan tulang, ditemukan pula di gua Selonding di daerah Bulit, Badung Selatan. Ini menunjukkan bahwa masa berburu melewati masa cukup panjang disertai dengan peningkatan pola pikir yang makin baik. Masih berdasar pada temuan benda-benda purbakala, tergambar bahwa Bali mulai meninggalkan masa berburu dan masuk pada masa bercocok tanam. Kendati sudah memasuki tatanan hidup yang lebih terpola pada masa bertanam, kelompok manusia Bali pada masa itu dipastikan hidup secara berpindah. Berbagai peninggalan sejenis ditemukan sebagai temuan lepas di berbagai wilayah Bali barat, Bali utara, dan Bali selatan. Tatatan hidup dengan permukiman diyakini sebagai peralihan tatanan hidup manusia Bali dari jaman pra sejarah ke jaman sejarah. Peninggalan purbakala berupa nekara perunggu dan berbagai barang dari bahan logam di daerah Pejeng Gianyar, membuktikan bahwa kala itu telah terbentuk tatanan masyarakat yang lebih terstruktur. Berbarengan dengan peralihan jaman pra sejarah ke jaman sejarah, pengaruh Hindu dari India yang masuk ke Indonesia diperkirakan memberi dorongan kuat pada lompatan budaya di Bali. Masa peralihan ini, yang lazim disebut sebagai masa Bali Kuno antara abad 8 hingga abad 13, dengan amat jelas mengalami perubahan lagi akibat pengaruh Majapahit yang berniat menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa Gajah Mada di awal abad 13. Tatanan pemerintahan dan struktur masyarakat mengalami penyesuaian mengikuti pola pemerintahan Majapahit. Benturan budaya lokal Bali Kuno dan budaya Hindu Jawa dari Majapahit dalam bentuk penolakan penduduk Bali menimbulkan berbagai perlawanan di berbagai daerah di Bali. Secara perlahan dan pasti, dengan upaya penyesuaian dan percampuran kedua belah pihak, Bali berhasil menemukan pola budaya yang sesuai dengan pola pikir masyarakat dan keadaan alam Bali. Model penyesuaian ini kiranya yang kemudian membentuk masyarakat dan budaya Bali yang diwarisi kini menjadi unik dan khas, menyerap unsur Hindu dan Jawa Majapahit namun kental dengan warna lokal. Pola perkembangan budaya Bali di masa-masa berikutnya, jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan, secara alamiah mengikuti alur yang sama yaitu menerima pengaruh luar yang lebur ke dalam warna budaya lokal.Sejarah
BAB II
ADAT ISTIADAT
2.1 Bahasa Bali
Bahasa Bali adalah wahana budaya vocal masyarakat Bali, bahasa perolehan pertama (bahasa ibu) masyarakat Bali. Bahasa itu juga salah satu unsur budaya nasional bangsa Indonesia. Bagi rakyat Bali selain berfungsi sebagai alat komunikasi vocal, juga berfungsi sebagai penunjuk identitas rakyat Bali.
Penutur bahasa Bali adalah masyarakat Bali dengan perkiraan jumlah tiga juta orang. Mereka berdiam terutama di wilayah Provinsi Bali. Di bebrapa wilayah Indonesia di luar Provinsi Bali, penutur bahasa Bali terdapat pula di Lombok Barat, di beberapa tempat transmigran orang Bali di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawam dan Timor Timur. Penutur bahasa Bali umumnya penganut agama Hindu seperti yang dianut oleh masyarakat penutur bahasa Bali di wilayah Bali pada umumnya.
Bahasa Bali sangat menarik sejumlah peneliti, baik peneliti asing, maupun peneliti bangsa Indonesia. Peneliti bangsa Indonesia terutama peneliti penutur bahasa Bali yang umumnya berdomisili di Bali.
· Struktur Bahasa Bali
Struktur bahasa Bali yang menyangkut system fonologi, morfologi, dan sintakis sudah banyak diteliti oleh peneliti-peneliti, baik peneliti asing maupun peneliti bangsa Indonesia.
· Fungsi Bahasa Bali
Fungsi bahasa Bali – seperti halnya fungsi-fungsi bahasa daerah yang dirumuskan dalam polotik bahasa nasional (Halim (edit.) 1976 : 146 ) – adalah lambing kebanggaan daerah Bali, identitas daerah Bali, pendukung bahasa nasional Indonesia, alat penghubung dalam keluarga etnik Bali, bahasa pengantar di sekolah-sekolah dalam kelas tertentu, dan juga alat pengembangan kebudayaan Bali. Bahasa Bali sebagai pendukung bahada nasional Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kosa kata bahasa Indonesia.
2.2 Seni
· Seni Tari
Sesungguhnya seni taridapat digolongkan ke dalam seni teater. Teater mengandung tiga unsur, yakni penonton, tempat, pemain. Karena itu, teater meliputi seluruh seni pertunjukan yang terdiri dari seni pentas (drama), seni tari, seni music (karawitan) dan seni gerak lainnya. Salah satu definisi tari adalah “tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah” (Soedarsono, tanpa tahun :17).
Terdapat beberapa jenis tari yang mempunyai fungsi tertentu, yaitu sebagai berikut ;
1. Pendet : berfungsi sebagai tari penyambutan yang ditunjukan kepada bhatara-bhatari yang turun ke mrcapada (dunia) dalam suatu upacara atau manyembrama (menerima) kedatangan-Nya dari Melasti (menyucikan pralingga).
2. Rejang : berfungsi sebagai symbol bidadari yang turun ke dunia menuntun bhatara waktu melasti atau tedun ke peselang (turun ke temapat upacara), oleh karena itu maka penari-penari-nya terdiri dari gadis-gadis yang belum kawin (Putra, tanpa tahun : 9 ). Di Bali Utara desa Bungkulan, rejang-renteng (bergandengan dengan benang) berfungsi sebagai tari penyambutan terhadap dewi Cri sebagai pernyataan bersyukur karena berhasilnya panen padi.
· Seni Karawitan
Di Bali terdapat berbagai jenis perangkat/ansambel gamelan yang bila ditilik dari segi umurnya ada yang sudah berusia ratusan tahun yang merupakan peninggalan dari zaman kerajaan Bali dan ada pula buatan akhir-akhir ini pada abad ke-20.
Ada gambelan yang hanya mengiringi upacara sajaa, tentu ada ansambel-ansambel yang berfungsi sebagai pengiring tarian-tarian, baik tari lepas, tari lakon, maupun sendratari. Sampai sekarang secara tradisi dapat diikuti bahwa beberapa jenis gambelan mempunyai fungsi sebagai berikut.
1) Gong Gede disamping ditabuh secara instrumental sebagai pengiring suatu upacara agama, berfungsi pula sebagao pengirinh berbagai jenis ari baris gede yang digolongkan tari wali (dewayadnya),
2) Angklung untuk pengiring upacara pitrayadnya (orang meninggal, ngaben, mukur, dan sebagainya),
3) Gambang pada umumnya untuk mengiringi Upacara ngaben, kecuali di daerah Karangasem yang berfungsi pula di dalam Dewayadnya,
4) Gender Wayang dan Semara Pegulingan pada umumnya berfungsi mengiringi upacara Manusiayadnya (ualang tahun, Potong gigi, perkawinan),
5) Balaganjur/Paleganjur di samping berfungsi sebagai pengiring upacara mecaru (buthayadnya) juga untuk Dewayadnya.
Melihat fungsi-fungsi diatas, karena adanya desa, kala, patra belum dapat diambil kesimpulan yang mana sesungguhnya yang dianggap fungsi paling tepat. Mengingat banyaknya jenis ansambel yang ada yang hingga kini tercatat sampai 26, maka secara hipotesis kiranya pada zaman lampau masing-masing ansambel itu mempunyai tugas atau fungsi tertentu. Tetapi didalam sejarah perkembangannya mengalami berbagai perubahan, mungkin disebabkan oleh langka atau punahnya suatu jenis gambelan di suatu daerah, ehingga perlu dialih-fungsikan kepada gambelan yang ada pada kurun waktu itu.
· Pakaian Adat
2.3 Tempat Pemujaan dan Fungsi-fungsi Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan lahir dari fungsi yang diembanya dari bentuk penampilannya jelas diketahui fungsi bangunannya. Meru untuk tempat pemujaan, bale mten untuk tempat tinggal, wantilan untuk tempat pertemuan. Demikian pula bangunan-bangunan yang lain, masing-masing identitas yang disandangnya menginformasikan fungsinya. Bangunan-bangunan tradisional dikelompokan dalam fungsi-fungsi sebagai tempat pemujaan, tempat tinggal, dan tempat umum.
Unit terkecil adalah tempat pemujaan keluarga, di masing-masing rumah tangga disebut sanggah atau pamerajan. Bangunannya kemulan dan taksu dilengkapi dengan beberapa bangunan yang dipandang perlu.
Untuk tempat pemujaan keluarga besar disebut dadia (satu keturunan) dan kawitan (satu warga) dengan bangunan pokok pajenengan dan paibon dilengkapi dengan bangunan-bangungan pelinggih lainnya sesuai dengan pemujaan yang dilakukan dan beberapa bangunan pelengkap yan diperlukan.
Untuk unit-unit banjar ada tugu banjar dan untuk tingkat desa adat ada kahyangan tiga (pura desa, puseh, dan dalem) yang disiwi oleh seluruh warga desanya. Pura penunggu, dibangun di tempat-tempat yang dipandang angker, ada penunggunya seperti goa, sungai, mata air, dan tempat-tempat yang sering terjadi kecelakaan. Pura pengulu, untuk tempat-tempat pemujaan kelompok seprofesi pura Ulun Subak (petani), pura Ulun Segara (nelayan) pura Ulun Pasar (pedagang, dan pura untuk kelompok-kelompok kerja lainnya).
Pura Siwi, sebagai tempat pemujaan di tempat-tempat tertentu sehubungan dengan pembinaan dan perjalanan suci para tokoh agama pada awal penyebarannya. Pura Siwi merupakan tempat pemujaan umum, diemong masyarakat sekitarnya dan diempon penguasa wilayah (raja pada masa kerajaan) dan umumnya memiliki tanah untuk sumber biaya.
Pura Khayangan Jagat, tempat pemujaan yang bersifat umum bagi semua desa, semua warga, semua profesi dapat melakukan pemujaan di pura khayangan jagat yang upacara pemujaann umumnya sekali dalam setahun. Pengempon pura, desa terdekat dan pengempongnya raja atau penguasa wilayah dengan dana punia dapat dari tanah pelaba milik pura atau umat penyiwi.
Bangunan-bangunan tempat pemujaan dibangun dengan tipe-tipe tugu (kecil) dan candi (besar) dari susunan pasangan batu, batur-badan dan kepala atau atap dengan proporsi tertentu. Padmasana dari tipe terkecil (padmacapah), tipe sedang (padmasari), tipe besar (padmasana) yang lengkap dengan bedawangnala, juga dibangun dengan susunan pasangan batu, batur, badan dan kepala tanpa atap hanya dalam bentuk stana di bagian atas.
Gedong dengan berbagai tipe, jumlah tiang dan susunan ruang tergantung pada fungsi pemujaan dibangun dari kerangka kayu dan bebaturan pasangan batu. Meru dengan atap tumpang ganjil dari tumpang tiga sampai tumpang sebelas sesuai fungsi pemujaan, dibangun dari rangka batang kayu untuk parhyangan dan bebaturan pasangan batu. Untuk bahngunan tempat pemujaan atapnya dari ijuk atau alang-alang.
2.4 Sistem Kekerabatan (Perkawinan)
Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda dengan adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.
- Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
- Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
- Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagungyang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakanyang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
- Madengen–dengen
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian
- Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
- Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untukupacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.
2.5 Upacara Adat
· Upacara 3 Bulanan dan Otonan
Tujuan UPACARA TIGA BULANAN sudah saya jelaskan. Yang mungkin perlu dijelaskan lebih lengkap adalah urutan upacara dan symbol (niyasa) yang digunakan.
Urutan upacara :
1) ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
2) Nyama bajang dan kandapat "diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
3) Si Bayi natab banten bajang colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu kandapat (plasenta : ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom)
4) si Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut "kotor" yang dibawa sejak lahir).
5) Si Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.
6) Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
7) Si Bayi "mejaya-jaya" dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta.
Symbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan : Regek yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai symbol Nyama Bajang; Papah yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai symbol ari-ari, Pusuh yaitu jantung pisang sebagai symbol getih (darah), Batu sebagai symbol yeh-nyom, Blego sebagai symbol lamas, ayam sebagai symbol atma, sebuah periuk tanah yang pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan bayi, lesung batu sebagai symbol kekuatan Wisnu, pane symbol Windu (Hyang Widhi), air dalam pane symbol akasa, tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap symbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri).
Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan.
Yang diragukan oleh ortu anda, mungkin masalah tirta dari Sanggah Pamerajan ketika upacaranya di Jakarta. Jika upacara di Jakarta sudah seperti diatas, atau mendekati seperti itu, sudah cukup. Nanti di Bali dibuatkan tataban di Sanggah pamerajan yang dinamakan upacara "mapinton" yaitu memperkenalkan dan melaporkan kelahiran si bayi kepada roh leluhur yang distanakan di Sanggah Pamerajan. Namun jika ortu berkeras juga mau mengadakan upacara tiga bulanan dan otonan, sebaiknya turuti saja, karena beliau mungkin ingin mencurahkan kasih sayangnya kepada cucunya. Nah dengan demikian anda kan juga berbhakti kepada ortu dan membuat beliau senang, asal saja biayanya terjangkau.
· Upacara Adat Kematian
Tata cara menurut Upacara Agama Hindu dan Tata Cara Nasional.
Tata Cara Menurut Agama Hindu.
Perawatan Jenazah :
Terlebih dahulu jenazah harus dimandikan dengan air tawar yang bersih dan sedapat mungkin dicampur dengan wangi- wangian.
Setelah itu diberi secarik kain putih untuk menutupi bagian muka wajah dan bagian alat kelaminnya.
Kemudian barulah diberi pesalin dengan kain atau baju yang baru (bersih), rambutnya dirapikan (perempuan : rambutnya digulung sesuai dengan arah jarum jam), posisi tangan dengan sikap "menyembah" ke bawah. Setelah itu dibungkus dengan kain putih.
Pada saat membungkus jenazah tersebut supaya diperhatikan hal- hal sebagai berikut :
Bila jenazah itu laki- laki maka lipatan kainnya: yang kanan menutupi yang kiri, dan bila perempuan maka lipatan kainnya: yang kiri menutupi yang kanan. Setelah terbungkus rapi ikatlah bagian ujung (kepala dan kaki) serta bagian tengah jenazah yang bersangkutan dengan benang atau sobekan kain pembungkus tadi. Setelah selesai perawatan di atas, barulah jenazah tersebut disemayamkan di tempat yang telah ditetapkan.
Tata Cara Pelaksanaan Upacara.
Tata cara upacara yang mungkin dapat dilaksanakan adalah upacara darurat yang dalam hal ini harus dipimpin oleh seseorang yang beragama Hindu yang ada dalam kapal/ tempat tersebut yaitu :
Paling tidak ada sebuah "punjung" atau hidangan yang materinya terdiri dari: sepiring nasi dilengkapi, dengan. lauk pauk seadanya, air minum, air wijikan, rokok dan lain- lain sebagaimana santapan biasa.
Pimpinan upacara menyuguhkan mendiang untuk menikmati punjung/ hidangan tersebut disertai dengan ucapan bahasa sehari- hari:
Catatan: Punjung/ hidangan disuguhkan di sebelah kanan jenazah yakni di antara leher dan pusarnya.
Selanjutnya pimpinan upacara mohon persaksian (sembahyang) yang kalau situasi memungkinkan agar memakai sarana dupa (api) ke hadapan Bhatara Surya (Sang Hyang Widhi/ Tuhan) dan ke hadapan Bhatara Baruna. Akhirnya jenazah tersebut supaya dititipkan ke hadapan ibu Pertiwi. Bila nanti oleh keluarga yang bersangkutan berniat untuk mengabenkannya, cukup ngendag dari setra (kuburan) dan pengulapan di marga tiga (simpang tiga).
Kemudian tibalah saatnya menurunkan jenazah ke tengah laut yang disertai dengan pesan seperlunya. Posisi jenazah pada saat diturunkan ke tengah laut kepalanya supaya mengarah pada matahari terbit. Pada saat ini diikuti dengan penghormatan terakhir oleh segenap hadirin, kalau mungkin disertai dengan taburan bunga.
Tata Cara Nasional.
Suatu kemungkinan dapat terjadi bahwa di tempat kejadian atau kapal tempat umat Hindu yang meninggal tersebut tidak terdapat umat Hindu lainnya yang masih hidup, yang dapat bertindak selaku pimpinan upacara maka tata upacara penyelesaiannya dengan ketentuan yang berlaku.
2.6 Religi
· Komposisi Agama
Pulau Bali termasuk kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Luasnya adalah 5.632,86 km2, dan dihuni oleh penduduk yang berjumlah ± 2.6.31.766 jiwa. Perbandingan pemeluk agama satu dengan yang lainnyabadalah sebagai berikut : pemeluk Agama Hindu 2.334.229 orang (96 %), Agama Islam 132.701 (2,5 %), Agama Protestan 12.609 (0,5 %), Agama Khatolik 8.405 (0,5 %), dan Agama Budha 14.041 (0,5 %). Oleh karena penduduk Bali sbagian besar penganut Agama Hindu maka corak masyarakat Bali terutama di pedesaan akan tampak sangat khas.
· Keagamaan di Bali
Di Bali dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan lambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Manggrua, yang bermakna 'Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'. Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindu memuja banyak Tuhan. Kendati masyarakat Hindu di Bali menyebut Tuhan dengan berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati terpilah tiga, namun terkait satu jua sebagai proses lahir-hidup-mati atau utpeti-stiti-pralina. Dewata Nawa Sanga sebagai sembilan Dewata yang menempati delapan arah mata angin dan satu di tengah kendati terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala terpadu dengan lapis ruang ke arah vertikal bawah-atas-tengah atau bhur-bwah-swah, adalah satu jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Demikian pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang dimaksudkan secara khusus memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an Tuhan.
Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik.
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Didukung dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1. Dewa Yadnya
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).
Panca Maha Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa upacara kecil dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada hitungan ratusan tahun.
2.7 Pariwisata
Bali adalah salah satu pulau dari sekian ribu pulau yang ada di Indonesia. Sampai dewasa ini Bali tidak mempunyai sumber penghasilan dari pertambangan. Tetapi memiliki alam indah tang terpadu dengan keramahantamahan masyarakatnya, cara hidup dan kebudayaan Bali yang semuanya bersumber dari ajaran Agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar penduduknya. Dari potensi yang dimiliki oleh Bali, pengembangan pariwisata merupakan suatu usaha yang sangat tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu disadari bahwa keanekaragaman potensi pariwisata itu merupakan kekayaan yang tak ternilai, yang perku dijaga keserasian dan keseimbangannya, agar sumber-sumber yang ada dapat dipertahankan kelestariannya. Karena pada umumnya wisatawan yang dating ke daerah tujuan wisata ingin melihat sesuatu khas, indah dan berkpribadian, sesatu yang jarang atau tidak terdapat di negrinya.
· Objek Pariwisata
1. Pantai Amed
2. Wisata Puri
3. Tulamben
4. Tanah Lot
5. Sangeh
6. Puri Agung Karangasem
7. Buleleng
8. Jembrana
9. Tabanan
10. Gianyar
BAB III
HUKUM ADAT
3.1 Hubungan Ilmu Antropologi dengan Ilmu Lain
· Ilmu Antropologi dan Ilmu Hukum
Hubungan Ilmu Antropologi dan Ilmu Hukum terdapat dalam kasus lemukih dimana terjadi penyiksaan dan penggusuran warga pro pemilik sertifikat. Maka hukuman adat yang diterima adalah penyiksaan dan pembakaran terhadap pelaku.
· Ilmu Antropologi dan Ilmu Arkeologi
Hubungan Ilmu Antropologi an Ilmu Arkeologi terdapat dalam jamuan adat dengan maksud menjadikan suatu lingkungan binaan yang serasi dan selaras dengan manusia, alam dan Tuhannya. Dan jamuan adat ini termasuk kebudayaan kuno di Bali.
· Ilmu Antropologi dan Ilmu Psikologi
Psikologi mempelajari dan menyelidi pengalaman dan tingkah laku individu manusia yang dipengaruhi oleh situasi-situasi sosial. Sebagaimana yang diketahui antropologi mempelajari tentang manusia dan psikologi menyelidiki pengalaman dan tingkah laku manusia. Adanya hubungan yaitu dengan menggunakan analisa psikologi, maka ilmu antropologi dapat menganalisa secar amendalam apa saja yang terjadi di masa lalu.
3.2 Contoh Kasus dan Hukum Adat
Sesuai pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 bahwa bangsa Indoesia adalah negara Hukum maka Konsekuensi suatu Negara hukum di Indonesia adalah segala hal harus diatur dalam hukum. Pemberlakuan hukum tertulis di Indonesia menyebabkan pengakuan terhadap hak kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia diakui secara tertulis dalam Konstitusi yakni Pasal 18 B UUD NRI 1945.
Kalau mengacu pada pasal 18B ayat (2) yang merumuskan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum adat beserta hak-hak traditionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia, yag diatur dengan Undang-Undang” maka sejatinya kesatuan masyarakat hukum adat merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum. Adanya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum oleh kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai dampak akan timbulnya akibat hukum.
Akibat hukum dapat berupa akibat yang negative dan akibat yang positif. Pengakuan kesatuan hukum adat sebagai subjek hukum menyebabkan mayakat hukum adat dapat berbuat sebagai mana layaknya manusia dan badan hukum. Tentunya selain melindungi warga adat juga bisa saja melukai warga adat. Namun setidaknya kesatuan masyarakat adat ini tidak terlalu memperhatikan permasalahan hukum positif yang ada sehingga terjadi pelanggaran hukum positif dalam beberapa kasus di Bali yang mengatasnamakan masyarakat adat.
Hanya saja masalah penegakan hukum menjadi dianggap rancu ketika terjadi permasalahan atau pelanggaran oleh masyarakat adat dimana karena dianggap massa yang dilakukan pelanggaran hukm maka penegak hukum tidak melerai atau malah membiarkan kejahatan terjadi terlebih dahulu. Selain itu, penegakan hukum sering kali ditujukan kepada perseorangan yang melanggar dalam hal ini adalah warga desa adatnya atau pengurus desa adatnya.
Masyarakat adat tidak terlalu memperhatikan hukum positif dikarenakan lebih melihat haknya sebagai kesatuan masyarakat huku adat dan hukum adat yang dipegang sebagai pedomannya. Padahal hukum adat adalah diakui oleh hukum nasional sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. Jadi sebenarnya penegak hukum dapat mengambil tindakan secara hukum nasional jika terdapat pelanggaran hukum termasuk yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat.
Jadi sangat menarik disini mengenai penegakan hukum sebagai perubah hukum jika dikaji mengenai ketaatan masyarakat hukum adat itu sendiri.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kesatuan masyarakat hukum adat.
Sebelum dikaji mengenai penegakan hukum sebagai aspek perubah hukum yang mempengaruhi ketaatan hukum masyarakat hukum adat di Bali. Ada baiknya kita melirik sejenak beberapa kasus yang melibatkan masyarakat adat di Bali yang akan dipaparkan melalui Tabel Berikut :
.
KASUS YANG MELIBATKAN MASYARAKAT ADAT DI BALI
No | Nama | Waktu kejadian | Posisi Kasus | Jenis Pelanggara | Tindakan penegak hokum |
1 | Lemukih | Tahun 2010 | kasus lemukih berawal dari sengketa tanah adat seluas sembilan puluh tiga hektar, dengan adanya aturan landreform, dimana kepemilikan tanah dibatasi, tanah desa lemukih dibatasi maksimal tiga puluh hektar. sisanya senam puluh enam hektar, dimohon oleh penggarap tanah, sehingga keluar sertifikat hak milik. hal ini tidak diterima oleh masyarakat adat yang juga mengklaim bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. | - Pembakaran rumah - Penyiksaan warga pendukung sertifikat - Pengusiran warga yang pro pemilik sertifikat - Sweeping warga - Merusak fasilitas umum | Menangkap pelaku pembakaran dan penyiksaan |
2 | Perebutan kuburan di Gianyar | | setelah di desa keramas Gianyar. Kasus pemagaran kuburan kembali terjadi di Gianyar. Kali ini, tempek gria Tegallinggah, bedulu, Gianyar. ang diduga memanfaatkan pura yang juga diempon kelompok tepekan gria Tegallinggah, yang terkesan diulur-ulur, penyelesainya. Sebelumnya, tempekan gria tegallanggih, tidak terima dengan sikap yang dilakukan oleh kelompok petandakan, buruan dengan melakukan pemekaran desa pakraman baru yakni desa pakraman ketandan | - Pengusiran - Perusakan fasilitas umum - Penyiksaan | - Sempat menangkap pelaku kemudian dilepaskan lagi. |
3 | Tapal Batas | 2008-2010 | sengketa tapal batas kedua desa beberapa kali menimbulkan perbuatan anarkis. Sejumlah warga Macang melaporkan, rumahnya dirusak karena dilempari batu dan ada yang dibakar. Balai pesandekan pura dan bak sumber air juga dibakar dan dirusak. Kebun salak dan tanaman lain dibabat, buahnya ada yang dijarah. | - Penyiksaan - Pengusiran - Perusakan fasilitas umum - pembakaran | - Tidak melakukan tindakan apapun terhadap siapapun |
4 | Tajen | sekarang | Tajen melanggar pasal 303 tetapi sering kali tajen diadakan oleh masyarakat adat. | - perjudian | - oknum pejudi terus dilakukan tetapi judi sambung ayan tetap marak |
Dari berbagai sumber
Melihat bebrapaka kasus yang terjadi di Bali. Dengan jelas terlihat bahwa pelanggaran hukum bisa juga dilakukan oleh subjek hukum selain manusia yakni masyarakat hukum adat. Tetapi tindakan aparat hukum yang mengesampingkan efek dari penegakan hukum itu, sehingga pelanggaran oleh masyarakat adat terus terjadi dan tiada henti. Penanganan kasus yang melibatkan hukum adat ini hanya dirasakan oleh korban itu sendiri.
Penegakan hukum kini semakin mendesak dilakukan. Kerena bagaimanapun kondisi sebuah negara penegakan hukum merupakan kunci penyelesaian masalah. Asalkan pelaksana perundangan itu melaksanakan dengan konsekuen, tidak malah ikut melanggarnya. Kondisi yang terjadi selama ini di Indonesia bukan disebabkan oleh perundang-undangan yang kurang baik, tetapi terletak pada masalah the men behind the law.
Dari kasus-kasus ini menunjukan bahwa penegakan hukum tidak berdasarkan fakta yang sebenarnya, tetapi atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan apabila dihubungkan dengan kepentingan politik tertentu dalam masyarakat sehingga membawa kesulitan dalam penegakan hukum. Hal-hal yang demikian inilah menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum dalam masyarakat tidak harmonis (dalam arti tidak sebagaimana mestinya) karena sudah adanya rekayasa.
Dalam banyak hal penegakan hukum ini adakalanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, dimana masyarakat biasa ( kebanyakan ) terjangkau oleh hukum, sedangkan masyarakat golongan tertentu terkesan tidak tersentuh hukum. Bagi mereka yang menpuyai kekuasaan, dan orang-orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi ternyata banyak yang terhindar dari tangkapan penegak hukum.
Tidak dapat disangka bahwa usaha penegakan hukum merupakan masalah yang kompleks dan selalu menimbulkan permasalahan lebih lanjut karena beberapa hal tertentu. Usaha penegakan hukum karapkali dilakukan berdasarkan kemauan dan tujuan yang baik, tetapi kerapkali pelaksanaanya malahan menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan dan merugikan, baik fisik, mental dan sosial.
Penegakan hukum oleh polri dalam proses penyidikan adkalanya menggunakan kekerasan baik secara fisik maupun psikis demi untuk mengejar pengakuan tersangka. Hal yang demikian sangat berbahaya dan bahkan bisa berakibat fatal pada saat proses persidangan di pengadilan, karena terdakwa bisa mencabut atau tidak mengakui pengakuannya pada saat pemeriksaan di polisi.
BAB IV
KESIMPULAN
Seperti Indonesia yang memiliki berbagai macam keragaman bahasa dari berbagai daerah. Begitupun Pulau Bali yang mmiliki keragaman budaya yang dimilikinya. Kebudayaan itu adalah system nilai dan ide vital yang dianut oleh suatu kelompok bangsa di dalam kurun waktu tertentu. Bertolak dari pengertian tersebut dapat dipastikan bahwa kebudayaan itu tidak statis serta mempunyai perbedaan nilai antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula nilai seni dari suatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya. Terbukti didalam perkembangan sejarahnya bahwa beberapa seni Bali dapat bertahan sampai berabad-abad . ini merupakan suatu pertanda bahwa nilai luhur yang terkandung dalam seni tersebut sudah lestari, dlihat dari segi artistic, estetik, maupun etiknya. Karena dari itu setiap kebudayaan-kebudayaan yang ada patut dilestarikan agar selalu dikenal dan menjadi jati diri dari setiap daerah/kepulauan.
Subscribe to:
Posts (Atom)